MEMBACA CERGAM MAHABHARATA SEBAGAI SASTRA GRAFIS

Namaku Karna, “Aku tahu aku ini anak Dewi Kunti, bukan anak sais kereta,” demikian ucap putra Batara Surya yang sekandungan dengan ibunya para Pandawa Lima. Seucap kalimat tersebut dipungut dari novel Mahabharata versi karangan Nyoman S. Pendit (2014 : 303). Konon menurut keyakinan ummat Hinduis, kitab atau sutra Mahabharata gubahan Mpu Wyasa ini, apabila di baca selembar akan menghapus dosa sehari untuk orang yang membacanya. Ucapan penegasan dari Karna itu ditujukan kepada Bhisma Dewabrata, sang keturunan terakhir wangsa Bharata yang telah mengangkat sumpah yang berat nan suci untuk tidak mempunyai keturunan dan melepas gelar putra mahkota demi kebahagiaan ayahandanya Prabu Sentanu. Komik Indonesia, atau dikenali sebagai CERGAM, kembali meluncur untuk kesekian kalinya ke publik pembaca Indonesia yang menghadirkan versi kisah epos Mahabharata. Kali ini digarap dengan apik oleh saudara Apri Kusbiantoro, yang menurut gossip teranyar adalah cergamis yang masih setia menggunakan medium dan teknik ilustrasi realis-naturalis warisan dari komikus Don Lawrence (1928 – 2003) kelahiran Inggris. Serial komik Strom dan The Rise and the Fall of Trigan Empire adalah diantara judul karyanya Don Lawrence yang sempat menyapa publik pembaca Indonesia tahun 1970-an hingga 1980-an, baik melalui penerbitan sebagai komik strip di majalah maupun yang kemudian diterbitkan dalam bentuk bundel album komik.
Publik baca di Indonesia sangat perlu mengenal orang muda bernama Apri Kusbiantoro yang konsisten dalam membuat karya komik di tengah-tengah masih temaramnya industri komik tanah air dan masih terbilang minimnya apresiasi dari kalangan senirupa terhadap karya komik sebagai suatu seni. Terlebih lagi, apresiasi dari kalangan generasi yang lahir belakangan di abad ke-21, yang mana anak-anak pada umumnya mengenal komik adalah manga, sebutan untuk komik asal Jepang. Gambar ilustrasi dan produksi yang minimalis didominasi gaya karakter non-realis tapi cenderung stylized, cenderung hitam-putih dan berlembar-lembar banyaknya jumlah halaman per buku. Ditambah dengan komparasi harga yang lebih hemat di kantong berbanding dengan publikasi cergam Mahabharata yang digarap oleh Apri dengan menggunakan pendekatan realis, berwarna digital dan jumlah halaman yang lebih sedikit, tetapi harganya yang lebih tinggi, adakah cergam ini menarik untuk dimiliki dan dibaca? Lalu, apakah hanya sampai disitu cara kita memperbandingkannya? Apakah ketiadaan kritisisme yang mampu mengajak pembaca berapresiasi dengan merogoh koceknya membeli cergam Mahabharata ini selain semata-mata soal untung rugi dari sisi produksi? Untuk itu kami akan mencoba memulakan kritik berkaitan kualitas produksi cergam ini, sebelum beranjak ke diskusi apresiasi dari segi aspek formal visual dan desainnya terkait dengan genre yang kami namakan sebagai sastra grafis.
Penerbitnya Gatra Pustaka memilih memublikasikan cergam ini dengan format buku berukuran 21,5 x 28 cm, mendekati ukuran kertas tipe Letter (8,5 x 11 inch) yang biasa kita disini sebut sebagai kertas ukuran kwarto (Quarto = 9 x 11 inch) cergam serial Mahabharata edisi pertama berjudul: "Fajar di Hastina" ini cukup enak dipegang, dan cukup luas untuk dibaca gambar-gambarnya. Namun terasa cukup berat di timang-timang jemari karena pilihan kertas isi dan sampul buku yang cukup tebal, bukunya sendiri berisikan 56 halaman. Kalau mengikuti pengalaman mengoleksi dan membolak-balik komik-komik yang ada, maka kami menganjurkkan dan barangkali juga bermanfaat untuk efisiensi kertas dengan memakai kurang atau lebih mendekati standar ISO B5 17,6 x 25 cm. Aspek formal fisik buku ini meski tampak sepele tapi sebenarnya merupakan sentuhan pertama dengan kenyamanan di pihak pembaca. Konsistensi kualitas cetak bewarna juga menjadi faktor pertimbangan dalam menilai sebuah buku, terlebih lagi ini sebuah komik yang memuat kandungan sastrawi. Secara keseluruhan cergam Mahabharata yang berwarna dengan pewarnaan digital ini terlihat sungguh eksklusif dan menawan. Untuk itu perlu dijaga konsistensi kualitas kecerahan (brightness/contrast) dan nada warnanya (toning). Keseriusan mulai dari pengolahan grafis hingga ke tahap proses pencetakan menjadi hal yang krusial. Kecerahan dan gelap terang tingkat nada warna perlu dikawal supaya lukisan digital cergam ini tampil senatural mungkin. Meski berwarna penuh, banyak bagian dari cergam ini mempunyai tingkat keabu-abuan yang sedikit banyak membuatnya terlihat sedikit temaram. Mungkin kesan temaram ini memang tujuannya berbicara tentang kemuraman atau ketenangan, tapi mungkin juga tidak. Kesan komposisi warna memengaruhi suasana narasi penceritaan yang sedang dibangun, jika nuansa pewarnaan dari halaman ke halaman lebih kurang sama, maka dikuatirkan akan mengurangi penghayatan emosional dari si pembaca.
Pada narasi penceritaan dalam beberapa bagian narasi di cergam ini, terdapat bagian dimana suasana hati kurang terbangun, rasanya agak kurang merenyuh ke dalam hati. Ada bagian pertemuan antara seorang lelaki (Palasara) dan seorang perempuan (Setyawati) yang kemudian saling jatuh hati dan menikah yang diceritakan dengan hanya mengandalkan teks kata-kata narator dalam kotak teks. Pada bagian seperti ini selain penggambaran rupa dari karakter yang seharusnya mengambil peran membangun atmosfer adalah komposisi nada warna yang lebih berkesan dalam menggambar suasana hati. Sesekali saya terkenang akan karya cergam Mahabharata garapan mendiang Teguh Santosa dan Ramayana garapan mendiang Jan Mintaraga, keduanya dalam format album buku diterbitkan full-color dengan media cat air dan atau tinta warna. Meski bukan membandingkan secara pararel, Mahabharata garapan Apri barangkali boleh mengambil pelajaran. Pada penggarapan pewarnaan, Teguh Santosa banyak menggunakan teknik sapuan kuas pada bidang luas dengan memendarkan warna-warni pada bidang-bidang latar belakang. Sedangkan Jan Mintaraga lebih banyak menggunakan teknik pewarnaan yang lebih detail. Goresan garis-garis pada Apri lebih mendekati gaya Teguh Santosa yang cenderung terkawal rapi dan bersih, sementara Jan Mintaraga menggores dengan lebih ekspresif. Namun, kelebihan Teguh dalam menggarap dekorasi dan ukiran-ukiran tampak lebih terasa detail.
Sedikit banyak pendekatan gaya seni dekorasi Apri banyak dipengaruhi gaya dekorasi artnouveau eropa. Langgam rupa artnouveau dari abad 19 yang menurut Drucker & McVarish (2009, 2012) oleh para praktisinya dimaksudkan untuk membudayakan selera borjuasi, kini mendapatkan konteks yang berbeda di tangan para seniman ilustrator sains fiksi dan fantasi. Misalnya kita temukan sulur-sulur organis yang khas artnouveauan ini di penggambaran istana Ratu Padmé Amidala dari Planet Naboo dari film Starwars: The Clone Wars. Contoh lainnya pada penggambaran nuansa dan kostum golongan peri (fairy dan elf) dari dunia Tengah (Middle-earth) dalam kisah Lord of the Ring karya J.R.R. Tolkien. Kesan langgam artnouveau yang dipengaruhi oleh barang seni dan kerajinan dari Asia terutama pengaruh japonisme, berpadu dengan penguatan kembali tradisi desain visual Celtic-Skandinavian sempat menjadi trend yang menyatukan seni dan industri massal di abad 19. Kini desain visual mendapat konteks pemberi citra fantasi yang berkesan fantastik dalam penggambaran dunia antah-berantah. Dalam cergam Mahabharata tampaknya Apri menggunakan goresan hiasan dan tarikan garis yang sedemikian, terutama ketika memberi kesan canggih dan fantastis pada nuansa atmosfer kisah dengan kostum pakaian, mahkota, serta bangunan istana dan kahyangan yang agak futuristik.
Sebuah komik mengandungi empat faktor dalam proses membaca narativitasnya, yaitu sebagaimana model tetrahedron yang ditawarkan oleh Lewis (2010) dalam artikel jurnalnya yang berjudul 'The Shape of Comic Book Reading' : 1) Medium, 2) Pembaca, 3) Naratif Verbal, dan 4) Naratif Visual. Naratif verbal merupakan sebuah terma yang disatukan oleh Lewis dari penafsirannya atas maksud Wolfgang Iser (1989) atas 'pengarang', Espen J. Aarseth (1997) atas 'tanda verbal', dan Scott McCloud (1994) atas 'bahasa'. Pada komik, gambar bisa membentuk naratif yang valid sebagaimana yang dilakukan dengan kata-kata. Bahkan, kita ketahui gambar pun bisa didesain untuk  dapat bercerita tanpa bantuan kata-kata. Kebanyakan komik umumnya mempunyai narasi verbal dan narasi visual yang seakan menceritakan kisah yang sama, namun secara teknisnya menurut Lewis, sebenarnya Mieke Bal menyebut hal tersebut sebenarnya bukanlah kisah yang sama tetapi 'fabula' yang sama. Narasi verbal dan visual pada komik bisa menceritakan bagian yang sama dari kisahnya, dengan demikian yang terjadi adalah seolah-olah kata-kata mengulang kembali apa yang sudah digambarkan. Oleh sebab itu, seni-nya komik terdapat pada bagaimana seorang cergamis mampu memanfaatkan naratifnya verbal dan naratifnya visual untuk menceritakan bagian yang berbeda, tetapi menjaga kesinambungan fabula yang sama. Pada beberapa genre komik dewasa, seperti karya manga Jiro Taniguchi berjudul Fuyu no Dōbutsuen (A Zoo Winter - 2011), pembaca harus dan mau tidak mau mengikuti tuturan kisah yang disampaikan baik melalui naratif visual maupun verbal. Anda tidak akan bisa mengerti jalan ceritanya kalau hanya mengandalkan tebak-tebakan dengan mengikuti gambar-gambarnya saja, tetapi harus mengikuti percakapan yang ada di dalamnya. Tetapi, pada saat yang sama, mustahil hanya membaca kata-kata sepanjang cerita dalam manga tersebut tanpa kita mengambil waktu untuk membaca naratif visualnya. Komik adalah literatur yang multimodal, Will Eisner (1990) mengatakan bahwa komik mengatasi batasan rezim bahasa (sastra/literatur) dan rezim gambar (senirupa) dan kegiatan membaca komik adalah tindakan persepsi estetis sekaligus pengejaran intelektualitas. Karena itu jika terdapat duplikasi atau dualitas dalam naratif visual dan verbal, Lewis mengatakan bahwa kita bisa menyebut hal tersebut sebagai narasi polifoni (narrative polyphony) yang digunakan untuk menguatkan pesan komunikasi cerita dari fabula yang bersamaan.
Karna Mustaqim (2008) pernah menawarkan sebuah neologisme yang sebenarnya tidaklah baru-baru amat, yaitu 'sastra grafis'. Bahwasannya cergam sejak Teguh Santosa mengiklankan trilogi Sandhora (1969-1974) sebagai cergam yang "disadjikan setjara filmis dan kolosal", maka cergam, komik Indonesia, sejak saat itu telah menyimpan bara ambisi kesusastraan yang berupaya menciptakan seni penceritaan visual (sequential narrative art). Gambar yang menarik, kedalaman tamsil, ketrampilan mengolah komposisi musikalitas visual, serta mengandungi kekuatan puitisasi adalah warisan dari cergamis klasik Indonesia sejak era Abdulsalam, R.A Kosasih, Taguan Harjo, Zam Nuldyen, Teguh Santosa dan lainnya. Sastra grafis adalah semacam upaya puitisasi grafis, dalam hal ini pengisahan cerita melalui visual gambar di atas permukaan dua dimensional. Puitisasi grafis bukanlah sebatas memvisualkan, menggambarkan atau mengilustrasikan puisi-puisi. Puitisasi kalau boleh dikatakan sebagai dorongan untuk mendramatisir narasi visual dari gambar-gambar yang berurutan dalam cergam. Puitisasi maksudnya adalah sebuah metafora visual, kiasan atau tamsilan yang dikisahkan lewat grafis, baik itu gambar, sketsa, foto, atau olahan komputer yang dapat dibentangkan di atas media dua dimensional atau layar datar monitor. Dalam konteks sastra grafis inilah kami merasa perlu menempatkan cergam Mahabharata gubahan dan guratan Apri dalam kancah persaingan identitas kreatif tanah air.
Beberapa catatan bahwa sebelum ini pernah diadakan sebuah pameran keliling bertema 'Litgraphic: The World of Graphic Novel' diorganisir oleh Norman Rockwell Museum, Stockbridge, Massachusetts dari tahun 2007 hingga 2012 ke beberapa tempat di Inggris dan Amerika Serikat. Kemudian juga terdapat artikel pada jurnal Studies in Comics, Vol.2 No. 2, 2011, dengan judul The New Normal of Literariness: Graphic Literature as the Next Paradigm Genre oleh Christopher M. Kuipers yang mengelaborasikan terminology baru sistem genre sastra yang menempatkan komik sebagai graphic literature dengan terma kategori paradigm genre. Frasa 'graphic literature' sendiri dipinjam oleh Kuipers dari J. Goggin & D. Hassler-Forest (2010) yang menulis buku The Rise and Reason of Comics and Graphic Literature: Critical Essays on the Form. Di sini pula kami mengartikan 'graphic literature' sebagai sastra grafis. Disini kami sederhanakan maksud dari kategorisasi ala Kuipers dengan istilah pertama, King genre, yaitu kisah-kisah epik seperti epos Mahabharata (India), Iliad (Yunani), Beowulf (Inggris), dan Nibelunglied (Jerman) yang mana utamanya dituturkan lewat penceritaan oral dan kata-kata yang didiktekan sehingga masa-masa hadirnya tulisan ke dalam peradaban manusia. Kedua, Queen genre, yaitu hadirnya novel yang dipicu oleh kehadiran teknologi cetak (printing press) dan globalisasi akibat penjelajahan dunia dan kolonialisasi oleh Eropa ke penjuru dunia. Dan kemudian, kategori yang ia sebut sebagai Paradigm genre, yaitu sastra grafis yang dimungkinkan oleh terjadinya langkah besar menyatukan antara lukisan, atau gambar, dengan berbagai medium dan tekniknya dengan teks dan kata-kata, hingga lahir bentuk modern komik seperti panel kotak berilustrasi dan tentu saja balon kata-kata di dalamnya, yang tidak lagi sekedar judul atau caption keterangan gambar ilustrasi. Sedikit catatan bagi cergam gubahan rekan Apri ini adalah untuk menghindari jebakan narasi yang dituturkan seperti didiktekan ala King genre, walau epos Mahabharata sendiri memang termasuk kelompok genre sastra yang didiktekan tetapi bentuk sastra yang diambil oleh cergamis kita ini adalah yang termasuk pada kategori Paradigm genre dengan bentuk utamanya adalah sastra grafis, dalam hal ini komik atau cergam.
Narasi dikte ini sedikit banyak tercium sejak awal, ketika cerita dibuka dengan mengandalkan teks yang berbunyi 'Perang Bharatayuda telah usai. Sebuah perang jagad yang mengugurkan ribuan jiwa dalam waktu 18 hari.' Namun, teks kata-kata narasi yang didiktekan ini berdiri sendiri, tanpa ada pengantar visual gambar yang bisa menjadi gambaran tentang betapa dahsyatnya perang jagad tersebut. Bagi pembaca awam yang katakanlah tidak mengenal apa itu epos Mahabharata dengan perang di padang Kuruseta itu, penggambaran sekilas bisa menjadi daya tarik tersendiri karena penasaran akan sedahsyat apakah perang jagad yang didiktekan itu. Kekuatan utama sastra grafis sebagai Paradigm genre ini adalah menubuhnya narasi atau pengisahan sesebuah cerita melalui kedua unsur narasi verbal dan narasi visual yang membuatnya tidak lagi terpisahkan. Dunia Mahabharata yang hadir melalui cergam karya Apri ini bukanlah dunia Mahabharatanya R.A. Kosasih, Teguh Santosa, ataupun yang lainnya. Sebagai sebuah sastra, cergam menghadirkan dunianya sendiri. Demikianlah sedikit tanggapan apresiasi dari kami dengan disertai harapan dan ketidak-sabaran menantikan kehadiran edisi selanjutnya dari serial Mahabharata ini.

Referensi
1.       LitGraphic: The World of the Graphic Novel, diambil pada tanggal 22 Juni 2015 dari halaman http://www.tfaoi.com/aa/7aa/7aa971.htm; http://www.nrm.org/?s=Litgraphic+The+World+of+Graphic+Novel&submit.x=9&submit.y=12&submit= Go

2.       Kuipers, M.C (2011). The New Normal of Literariness: Graphic Literature as the Next Paradigm Genre. Studies in Comics, Vol.2 No. 2. Intellect Ltd.: Bristol & North Carolina.

https://www.researchgate.net/publication/284187863_MEMBACA_CERGAM_MAHABHARATA_SEBAGAI_SASTRA_GRAFIS?showFulltext=1&linkId=564f524508aeafc2aab3c654

DOI:
 10.13140/RG.2.1.2107.8487


Popular Posts