Mengapa Aku Membaca Komik_0-

Penghujung tahun 2007. 25 Desember ini usiaku sudah tidaklah muda lagi, tapi juga tidaklah tua-tua amat. Lahir tahun 1976 di sebuah klinik melahirkan ditangani oleh seorang ibu yang berpengalaman lebih kurang 30 tahun. Dilahirkan dengan biaya klinik waktu itu Rp.25.000,- Tidak ada peristiwa dramatis selain bersyukurnya aku dan ibuku serta bapakku karena diberi karunia, yaitu Hidup. Ya, hidup, sesuatu yang tidak mungkin diperoleh oleh tokoh-tokoh atau karakter dalam komik sejago manapun si pembuat komik menghidupkan karakter dan cerita komiknya. Urusan hidup manusia memang hanya bisa menjalani dan mengimajimasikannya. Urusan menghidupkan itu memang kuasa besar Sang Maha Pencipta. Maka bersyukurlah aku sekarang ini karena masih hidup dan bisa menikmati komik.

Mengapa aku membaca komik?

Karena itu menjadi seorang pembaca komik, aku memerlukan alasan. Alasan yang memang sengaja dibuat-buat untuk mengatakan bahwa tidak ada yang istimewa dengan komik dibandingkan dengan medium ekspresi lainnya. Komik sama saja dengan novel, dengan cerpen, puisi, prosa, maupun bentuk literatur sastrawi sekalipun. Komik juga sama saja dengan seni rupa yang lainnya seperti patung, ukiran, lukisan, pertunjukan, tarian, nyanyian dan berbagai seni lainnya. Komik adalah sebuah konsep yang mediumnya dapat menjadi apa saja. Komik dapat memanfaatkan medium apa saja sekaligus dapat pula dimanfaatkan oleh medium apa saja. Karena komik bukan lahir dari budaya tinggi, melainkan dari produk konsumsi massa, budaya populer dan punya sifat banal secara alamiah.

Setelah aku rajin mengunjungi pameran-pameran lukisan dan melihat-lihat berbagai macam galeri seni yang bertebaran di penjuru kota-kota, aku semakin menyukai komik. Banyak lukisan yang semakin kartun dan komikal bentuknya. Semakin rumit dan sulit dinikmati lukisannya. Petunjuk satu-satunya hanyalah melalui katalog atau mengikuti diskusi kalau ada. Dengan petunjuk dari kurator pameran biasanya karya-karya seni yang dipajang lebih dapat dipahami, tetapi belum tentu dapat dinikmati. Tak kenal maka tak sayang.

Seni lukis yang memakai konsep-konsep yang rumit meskipun yang dilukis dengan teknik biasa saja dan lukisannya pun bersahaja, terasa seperti merahasiakan dirinya dari dikenali. Hanya melalui pernyataan-pernyataan konseptual dari senimannya, barulah karya itu dapat dikenali sedikit-sedikit. Hal ini mengingatkan aku kepada komik. Ketika pelukis atau seniman mengambil insipirasi dari blantika komik pop, yang ada hanya pemindahan komik ke atas kanvas ditambahkan dengan konsep seni dari seniman. Belakangan komik dan budaya pop lainnya mempengaruhi lebih mendalam karya-karya perupa kontemporer. Nyaris tidak ada lagi pemindahan komik ke atas kanvas, yang terjadi adalah pemindahan konsepsi tentang komik dan budaya pop ke atas pikiran seniman, sementara itu lukisan atau karya rupanya dapat saja tidak menunjukkan secara gamblang ikon atau idiom visual dari blantika komik.

Budaya komik adalah budaya independen, meskipun untuk memahaminya orang-orang terpaksa menjadikannya sebuah medium yang dipahami secara interdependen. Karena mengandung unsur cerita, komik dikaji melalui sudut pandang teori-teori literatur dan bahasa. Di lain pihak, karena visual merupakan unsurnya yang paling tampak maka kajian teori seni rupa juga lumrah dipakai. Sebagai medium yang unik, komik menarik perhatian kalangan peneliti media komunikasi. Belum lagi pengaruh imajinasinya yang besar kepada pembaca, komik juga menjadi perhatian para psikolog.


Pada komik, orang harus membedakan dan melepaskan cerita dari teks, dan melekatkan cerita dengan gambar. Komik tidak berambisi menjadi medium lain seperti film. Gambaran dalam komik akan lenyap dan tidak dapat sepenuhnya dipindahkan kepada film. Gambaran dalam film meskipun di tangkap dan dipindahkan ke dalam panel-panel komik, justru kehilangan esensi komikalnya. Eksistensi komik, sinema, dan sastra, masing-masing telah berdiri sendiri dengan esensinya tersendiri. Masing-masing punya kelenturan tanpa harus melebur menjadi bentuk yang lain. Sastra dapat dengan lentur memasuki komik, dan komik dapat lentur memasuki film, tidak perlu ada kekakuan definitif.


Sebagai pembaca komik, aku mempunyai panggilan tersendiri untuk komik. Aku menganggap komik sebagai sastra grafis.Sebutan ini terinspirasi dari puisi-puisi futuris dan dadais, terutama karya-karya Fillippo Marinetti dan kawan-kawannya. Mereka menyebut puisi konkrit untuk melepaskan puisi dari belenggu tekstual. Aku menyebut sastra grafis untuk meleburkan gambar dengan teks dari belenggu cerita.

Komik semakin dewasa. Cerita komik pun telah menyentuh segala aspek kehidupan. Kedewasaan komik menyumbang kepada kedewasaan pembaca dan pembuat komik. Bukan karena adanya unsur-unsur erotika atau pameran aurat sebagai nilai tambah sebagaimana film-film ‘dewasa’ yang menjadikan sebuah komik menjadi dewasa. Ada buku cerita picisan yang mengumbar kata-kata dan memuaskan cakra tubuh bagian bawah, ada pula komik picisan yang seperti itu. Ada film yang mengumbar fantasi syahwat, tentu ada pula komik sejenis itu. Gambar lebih memuaskan dari kata-kata, dan komik lebih mudah dan murah pembuatannya. Sebab itu selalu ada ruang bagi komik untuk menjadi kambing hitam kemerosotan moral, kambing yang hitamnya lebih mengilap dan mudah dijumpai di pasaran baik yang gelap maupun yang terang.

Kedewasaan komik tampak dari perjalanan sejarahnya. Kini sejumlah pembaca menyadari adanya beberapa komik yang datang dari era yang lalu, masih menarik untuk di baca. Beberapa komik malah mengandungi pesan-pesan yang abadi. Memang belum ada komikus yang menjadi filsuf atau pemikir jamannya, sebagaimana ramai filsuf dan pemikir jaman menuangkan ide serta argumen filosofisnya melalui buku cerita. Umberto Eco, sang guru semiotik memang pembela komik dia menuangkan novelnya dalam bentuk permainan tanda tekstual dan visual, tetapi medium komik belum menjadi medan pertempuran ideologisnya. Mungkin karena dia tidak merasa percaya diri dengan kemampuan gambarnya. Justru Julie Doucet, komikus cewek alternatif yang berani menerbitkan buku komik tanpa gambar komik. Di Indonesia ada seorang jurnalis yang tamatan sekolah filsafat mencoba membuat komik bersama dengan ilustrator. Isi komik itu lebih mirip catatan kaki bergambar, di sana-sini terdapat ungkapan dan kutipan dari filsuf dan pemikir jaman. Aku merasa agak kasihan dengan si tokoh cerita yang di paksa merenungkan kata-kata filsafat.

Comments

Popular Posts